Konsepsi
Hukum Laut Internasional pertama kali muncul di Eropa tepatnya ketika Imperium
Romawi menguasai seluruh tepian Laut Tengah. Peraturan- peraturan hukum laut
yang dikemukakan oleh Rhodes pada abad II atau III sebelum masehi sangat
berpengaruh di laut tengah karena prinsip- prinsipnya diterima dengan baik oleh
orang Yunani dan Romawi. Kitab undang- undang Rhodes yang dikeluarkan pada abad
V sebelum masehi oleh orang- orang Romawi sepenuhnya didasarkan atas peraturan
hukum laut yang pernah dibuat Rhodes. Pada abad XIV di kawasan laut tengah
terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato Del
Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan
perdagangan. Pada bagian dunia lain dikenal kitab undang- undang Asilka sekitar
abad VII, kitab undang- undang Orelon di daerah Prancis barat dan kitab undang-
undang dari Wisby di wilayah Eropa Utara.
Sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Romawi adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di dunia. Kerajaan ini terkenal memiliki angkatan perang dan barisan pertahanan yang sangat tangguh. Karena itu, penguasaan seluruh tepian laut tengah pada masa itu menjadi wajar. Setelah menguasai laut tengah selanjutnya Romawi mempersilahkan kepada bangsa lain untuk mempergunakan laut tengah secara damai. Karena dipergunakan oleh banyak bangsa di dunia, maka laut tengah pada saat itu menjadi jalur perdagangan yang ramai dan bebas dari bajak- bajak laut karena pengawasan dari angkatan perang Romawi cukup ketat.
Sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Romawi adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di dunia. Kerajaan ini terkenal memiliki angkatan perang dan barisan pertahanan yang sangat tangguh. Karena itu, penguasaan seluruh tepian laut tengah pada masa itu menjadi wajar. Setelah menguasai laut tengah selanjutnya Romawi mempersilahkan kepada bangsa lain untuk mempergunakan laut tengah secara damai. Karena dipergunakan oleh banyak bangsa di dunia, maka laut tengah pada saat itu menjadi jalur perdagangan yang ramai dan bebas dari bajak- bajak laut karena pengawasan dari angkatan perang Romawi cukup ketat.
Memasuki abad pertengahan, munculah
klaim- klaim yang dilakukan oleh negara- negara yang sebelumnya merupakan
bagiam dari kekuasaan Romawi. Negara- negara tersebut minuntut penguasaan atas
laut yang berbatasan dengan pantainya. Diawali oleh Venetia yang menuntut sebagian
besar Laut Adriatik untuk dijadikan daerah kekuasaannya. Tuntutan dari Venetia
ini diakui oleh Paus Alexander III pada 1177. Setelah tuntutannya terpenuhi,
Venetia memberlakukan pungutan bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana.
Selanjutnya Genoa melakukan klaim atas kekuasaan Laut Ligunia dan Negara Pisa
yang mengklaim dan memberlakukan aturan hukumnya di Laut Thyrrenia. Setelah
tuntutan dari ketiga negara tersebut terpenuhi, selanjutnya masing- masing
negara tersebut membuat aturan pemungutan bea terhadap setiap kapal yang
berlayar disana. Tiga negara diatas hanya sebagai contoh kecil negara- negara
di tepian laut setelah runtuhnya Imperium Romawi.
Banyaknya klaim atas kekuasaan laut pada saat itu menimbulkan banyak pertentangan bahkan peperangan yang menyebabkan wilayah laut yang sebelumnya utuh dibawah kekuasaan Romawi terbagi menjadi beberapa bagian yang dimiliki oleh negara- negara tertentu. Fenomena ini menyebabkan laut tidak lagi merupakan Res Communis Omnium ( hak bersama seluruh umat ) namun telah terjadi laut tertutup yang dikuasai oleh suatu negara. Tindakan sepihak dari negara- negara pantai di Laut Tengah untuk menguasai laut ini menimbulkan kebutuhan untuk mencari kejelasan dan kepastian hukum. Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status negara pantai terhadap laut menyebabkan para ahli hukum Romawi yang biasa disebut Post Glossator atau komentator mulai bekerja keras mencari penyelesaian hukumnya yang didasarkan atas asas dan konsepsi hukum Romawi. Pada perkembangan selanjutnya muncullah teori pembagian wilayah laut yang dikemukakan oleh Bartolus dan Raldus.
Pada masa pembentukan Hukum Laut Internasional ini terjadi perjuangan untuk menguasai lautan berdasarkan berbagai alas an dan kepentingan seperti karantina ( perlindungan kesehatan terutama terhadap penyakit pes), bea cukai dan pertahanan. Pada waktu yang bersamaan terjadi adu argumentasi diantara para penulis atau ahli hukum yang masing- masing mempertahankan dan membenarkan tindakan- tindakan yamg dilakukan oleh negara atau pemerintahnya masing- masing.
Salah satu perbedaan pendapat yang paling terkenal adalah yang terjadi antara penganut doktrin bebas (Mare Liberium) yang dikemukakan oleh seorang ahli hukum Belanda yaitu Hugo De Groot dan penganut dokrtin laut tertutup (Mare Clausum) yang dikemukakan oleh John Shelden. Hugu De Groot dalam bukunya yang berjudul Mare Liberum mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki oleh bangsa manapu karena itu semua orang dapat dengan bebas mengakses dan memanfaatkan sumber daya laut. Sedangkan Shelden berpendapat bahwa laut dapat dimiliki. Shelden menunjuk pada praktek negara- negara yang menerapkan kedaulatan perairan mereka seperti Swedia, Rusia, Jerman, Genoa dan Venetina. Periode ini dalam sejarah hukum laut dikenal dengan jaman pertempuran buku- buku. Hal ini desebabkan para pemikir dan ahli hukum saling berlomba untuk mempublikasikan pendapatnya dengan menulis buku. Dalam waktu yang tidak lama muncul pendapat dari Pontanus, seorang sarjana Belanda yang bekerja pada Dinas Diplomatik Denmark yang mengemukakan teori pembagian wilayah laut yaitu laut yang berdekatan dengan panti dan dapat dimiliki dan diluar itu merupakan laut bebas yang tidak dapat dimiliki.
Polemik antara penganut mare liberum dan mare clausum kemudian diakhiri oleh Cornelis Von Bynkershoek dalam karyanya De Dominia Maris Disertasio. Bynkershoek mengadakan asimilasi wilayah daratan dengan laut yang bersambung dengan pantai. Gagasan terkenal Bynkershoek menyatakan bahwa kedaulatan negara berakhir sampai sejauh tembakan meriam yang ketika itu bias mencapai jarak 3 mil laut. Pendapat yng berkembang diantara ahli hukum klasik akhir abad XIX ialah salah satu antara Mare Clausum dan Mare Liberum. Hukum perikanan internasional klasik secar rasional yuridis lebih mendukung gagasan Grotius ( Mare Liberum).
Dengan terbentuknya Liga Bangsa- Bangsa setelah perang dunia I dan dalam tahun- tahun permulaan dari Perserikatan Bansa- Bangsa terjadi perkembangan hukum yang merupakam gabungan antara filsafat klasik dan Neo klasik atau Neo Grotius. Madzhab Neo- Grotius menunjuk pada gabungan antara gagasan klasik dari Hukum Perikanan dan kebutuhan Hukum Internasional untuk melaksanakan diplimasi dan birokasi dari organisasi internasional.. selanjutnya terjadi penambahan lembaga baru di tuguh PBB yaitu International Law Commision yang bertugs untuk mempersiapkan berbagai konsep pembaharuan dan kodifikasi Hukum International. Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 (UNCLOS I) adalah produk perkembangan Hkum Internasional Neo- Klasik. Pada tahun 1960 diselenggarakan konferensi Hukum Laut PBB II (UNCLOS II). Dalam UNCLOS I dan II belum ada kesepakatan penting tentang lebar laut teritorial maupun zona perikanan sehingga praktek dari negara- negara pantai pada saat itu masih menggunakan peraturan masing- masing. Ketidakpastian tentang legalitas hukum laut di tahun 1960 dipengaruhi oleh keadaan politik dunia pada waktu itu yang mengakibatkan beberapa Konferensi Jenewa yang mengatur laut tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan.
Pada tahun 1973 dimulailah Konferensi Hukum Laut III dan ditutup pada 10 Desember 1982 dan menghasilkan beberapa aturan yang sangat substansial dalam bidang Hukum Internasional terutama Hukum Laut diantaranya adalah tentang lebar maksimum laut teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
Banyaknya klaim atas kekuasaan laut pada saat itu menimbulkan banyak pertentangan bahkan peperangan yang menyebabkan wilayah laut yang sebelumnya utuh dibawah kekuasaan Romawi terbagi menjadi beberapa bagian yang dimiliki oleh negara- negara tertentu. Fenomena ini menyebabkan laut tidak lagi merupakan Res Communis Omnium ( hak bersama seluruh umat ) namun telah terjadi laut tertutup yang dikuasai oleh suatu negara. Tindakan sepihak dari negara- negara pantai di Laut Tengah untuk menguasai laut ini menimbulkan kebutuhan untuk mencari kejelasan dan kepastian hukum. Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status negara pantai terhadap laut menyebabkan para ahli hukum Romawi yang biasa disebut Post Glossator atau komentator mulai bekerja keras mencari penyelesaian hukumnya yang didasarkan atas asas dan konsepsi hukum Romawi. Pada perkembangan selanjutnya muncullah teori pembagian wilayah laut yang dikemukakan oleh Bartolus dan Raldus.
Pada masa pembentukan Hukum Laut Internasional ini terjadi perjuangan untuk menguasai lautan berdasarkan berbagai alas an dan kepentingan seperti karantina ( perlindungan kesehatan terutama terhadap penyakit pes), bea cukai dan pertahanan. Pada waktu yang bersamaan terjadi adu argumentasi diantara para penulis atau ahli hukum yang masing- masing mempertahankan dan membenarkan tindakan- tindakan yamg dilakukan oleh negara atau pemerintahnya masing- masing.
Salah satu perbedaan pendapat yang paling terkenal adalah yang terjadi antara penganut doktrin bebas (Mare Liberium) yang dikemukakan oleh seorang ahli hukum Belanda yaitu Hugo De Groot dan penganut dokrtin laut tertutup (Mare Clausum) yang dikemukakan oleh John Shelden. Hugu De Groot dalam bukunya yang berjudul Mare Liberum mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki oleh bangsa manapu karena itu semua orang dapat dengan bebas mengakses dan memanfaatkan sumber daya laut. Sedangkan Shelden berpendapat bahwa laut dapat dimiliki. Shelden menunjuk pada praktek negara- negara yang menerapkan kedaulatan perairan mereka seperti Swedia, Rusia, Jerman, Genoa dan Venetina. Periode ini dalam sejarah hukum laut dikenal dengan jaman pertempuran buku- buku. Hal ini desebabkan para pemikir dan ahli hukum saling berlomba untuk mempublikasikan pendapatnya dengan menulis buku. Dalam waktu yang tidak lama muncul pendapat dari Pontanus, seorang sarjana Belanda yang bekerja pada Dinas Diplomatik Denmark yang mengemukakan teori pembagian wilayah laut yaitu laut yang berdekatan dengan panti dan dapat dimiliki dan diluar itu merupakan laut bebas yang tidak dapat dimiliki.
Polemik antara penganut mare liberum dan mare clausum kemudian diakhiri oleh Cornelis Von Bynkershoek dalam karyanya De Dominia Maris Disertasio. Bynkershoek mengadakan asimilasi wilayah daratan dengan laut yang bersambung dengan pantai. Gagasan terkenal Bynkershoek menyatakan bahwa kedaulatan negara berakhir sampai sejauh tembakan meriam yang ketika itu bias mencapai jarak 3 mil laut. Pendapat yng berkembang diantara ahli hukum klasik akhir abad XIX ialah salah satu antara Mare Clausum dan Mare Liberum. Hukum perikanan internasional klasik secar rasional yuridis lebih mendukung gagasan Grotius ( Mare Liberum).
Dengan terbentuknya Liga Bangsa- Bangsa setelah perang dunia I dan dalam tahun- tahun permulaan dari Perserikatan Bansa- Bangsa terjadi perkembangan hukum yang merupakam gabungan antara filsafat klasik dan Neo klasik atau Neo Grotius. Madzhab Neo- Grotius menunjuk pada gabungan antara gagasan klasik dari Hukum Perikanan dan kebutuhan Hukum Internasional untuk melaksanakan diplimasi dan birokasi dari organisasi internasional.. selanjutnya terjadi penambahan lembaga baru di tuguh PBB yaitu International Law Commision yang bertugs untuk mempersiapkan berbagai konsep pembaharuan dan kodifikasi Hukum International. Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 (UNCLOS I) adalah produk perkembangan Hkum Internasional Neo- Klasik. Pada tahun 1960 diselenggarakan konferensi Hukum Laut PBB II (UNCLOS II). Dalam UNCLOS I dan II belum ada kesepakatan penting tentang lebar laut teritorial maupun zona perikanan sehingga praktek dari negara- negara pantai pada saat itu masih menggunakan peraturan masing- masing. Ketidakpastian tentang legalitas hukum laut di tahun 1960 dipengaruhi oleh keadaan politik dunia pada waktu itu yang mengakibatkan beberapa Konferensi Jenewa yang mengatur laut tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan.
Pada tahun 1973 dimulailah Konferensi Hukum Laut III dan ditutup pada 10 Desember 1982 dan menghasilkan beberapa aturan yang sangat substansial dalam bidang Hukum Internasional terutama Hukum Laut diantaranya adalah tentang lebar maksimum laut teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
No comments:
Post a Comment