Thursday 12 April 2018

Ratapan Demos dan Kratos


Opini ini telah dimuat dalam media cetak Malut Post, Ed. 11 Des 2015

Ratapan Demos dan Kratos
Oleh :
Jalrahman Djawas
Sekum PUSMAT Kota Ternate
           
Kekuasaan dan Rakyat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah Negara demokrasi. Dimana, dalam Negara demokrasi tersebut segala sesuatu yang berkaitan dengan Kekuasaan harus membutuhkan legitimasi dari Rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Intinya adalah, rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, rakyatlah yang berdaulat, dan rakyatlah berhak menentukan siapa yang menjadi raja di atas tahta.
            Legitimasi Rakyat menuju Kekuasaan  dalam system Pemerintahan Indonesia telah dibingkai dalam kemasan khusus yang disebut PEMILU atau PILKADA yang merupakan sebuah wujud nyata dari makna demokrasi yang utarakan oleh Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Itu artinya bahwa, Indonesia adalah Negara demokrasi dan bukan otokrasi.
            Pemilihan umum di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1955 dan terus berkembang hingga kini, mulai dari amandemen Undang-Undang Dasar dan merevisi berbagai macam peraturan perundang-undangan demi capaian PEMILU dan PILKADA yang lebih baik yang sesuai dengan nilai-nilai dan asas-asas demokrasi.
            Pemilihan Kepala Daerah secara serentak merupakan sebuah PR (pekerjaan rumah) besar buat bangsa Indonesia dalam mewujkan keadilan  dengan meyakinkan bahwa rakyat akan memilih sesuai kehendaknya tanpa intervensi Rupiah, dan menjamin bahwa kecurangan-kecurangan yang terjadi dapat diadili dengan pertimbangan bahwa hak rakyat adalah pemimpin dengan perolehan suara terbanyak darinya dan bukan atas penggelembungan suara atau menghilangkan suara menggunakan Tipex.
1.      Kekuasaan Untuk Siapa?
            Kekuasaan yang berasal dari rakyat, maka orientasi pemimpinnya akan diperuntukan untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat secara universal, dan bukan kepentingan invidu, kelompok, suku, agama atau ras tertentu saja.
            Begitupun sebaliknya, apabila kekuasaan itu diperoleh dengan Rupiah atau dari kecurangan penyelenggara, atau dari Pimpinan SKPD dan PNS yang tidak netral (Politik Birokrasi) maka orientasi pemimpinnya juga pasti Rupiah, dan yang terjadi adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam bahasa sederhanya Iwan Fals adalah “Gali Lubang, tutup Lubang”.
            Kita harus sama-sama menyikapi dan mengantisipasi agar hal ini tidak terjadi dalam pilkada serentak tahun ini, sebab Pilkda dalam konteks kukasaan itu syarat akan kepentingan, kesombongan, dan  penuh tipu-daya. Sebagaimana yang dikatakan Weber bahwa Kekuasaan adalah keegoisan. Olehnya itu, segala kemungkinan baik kecurangan maupun politik uang sangat mungkin terjadi.
            Ada beberapa hal yang membuat penulis menyatakan demikian. Pertama, Pilkada serentak yang diadakan tahun ini menggunakan system yang berbeda, dimana setiap kandidat yang memiliki perolehan suara terbanyak akan ditetapkan oleh KPU sebagai Kepala Daerah Terpilih dan akan dilantik apabila dalam waktu 3x24 jam tidak ada Pemohon yang menggugat hasil pemilihannya ke Mahkamah konstitusi. Kedua, Terdapat kurang lebih 269 daerah yang melaksanakan pilkada serentak 9 desember tahun ini. Dimana setiap Pilkada sangat mungkin terjadi sengketa hasil pemilihan. Ketika terjadi sengketa hasil pemilihan maka Mahkamah Konstitusi akan mengadili sengketa tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Mahkamah Konstitusi mampu menangani perkara dengan jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat ? tentu saja tidak, dalam waktu 45 hari dengan jumlah perkara yang banyak akan berimplikasi pada terabaikannya sebagian perkara dengan putusan menolak atau tidak dapat diterima.
            Inilah menjadi dalil bahwa, setiap calon kepala daerah akan mendulang suara rakyat dengan menghalalkan segala cara. Praktek Politiknya pun akan dilakukan ala Machiavelian yang mengenyampingkan persoalan, moral dan etika, dan yang terpentingkan adalah bagaimana cara meraih sebuah kekuasaan.
2.      Siapakah yang berhak berkata “Adil”?
            Dari alasan yang Kedua di atas, untuk mengantisipasi banjirnya gugatan ke Mahkamah Konstitusi, MK telah mengeluarkan Peraturan No. 1 tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dimana para pemohon hanya dapat mengajukan gugatan dengan perselisihan suara maksimalnya mulai dari 0,5 %  - 2%. Pembagian prosentase perselisihan suara tersebut berdasarkan jumlah penduduk tiap-tiap daerah. Apabila jumalah perselisihan suara melebihi  dari prosentase yang telah ditentukan maka Mahkamah Konstitusi akan menolak gugatan tersebut.
            Itu artinya bahwa, apabila ada Calon Kepala Daerah serta koleganya yang melakukan kecurangan dengan melakukan penggelembungan suara dalam jumlah yang banyak yang melebihi prosentase yang ditetapkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut maka, tidak ada lagi lembaga di Negeri ini yang dapat mengadilinya. Belum lagi soal politik uang yang pembuktiannya sangat sulit dilakukan yang berkonsekuen pada jumlah suara.  Tentunya tidak ada jalan lain menuju keadilan bila kecurangan-kecurangan itu terjadi dalam jumlah yang banyak, yang telah melanggar hak-hak konstituen yang diatur dalam UUD. Seharusnya, Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Hak-hak konstitusional setiap warga negara tidak boleh terabaikan dan tidak boleh direnggut oleh siapapun. Dan tugas Mahkamah Konstitusi adalah menjaga hak-hak tersebut. Dalam pasal 1 ayat (2) konstitusi menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat…”, ini bermakna bahwa setiap kebijakan dan kekuasaan harus di legitimate oleh rakyat. Oleh karenya, legitimasi rakyat yang telah diabaikan, harus dapat diadili.                
             Sebenarnya Negara kita belum siap melaksanakan Pilkada secara serentak. Alasan yang pertama adalah : bahwa UU No. 8 tahun 2015 tentang perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang  adalah hasil dari pemikiran beberapa orang yang dibuat secara tergesa-gesa dan tidak memuat secara komprehensif norma-norma yang disertakan dengan sangsi. Misalnya dalam 73 menyatakan  tentang larangan money politic akan tetapi tidak disertakan dengan sangsinya sehingga dalam penanganan Money Politic harus dikembalikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang penyuapan, baik itu penyuapan aktif maupun pasif.  Kedua, Bahwa dalam pasal 157 UU tersebut  menyiratkan bahwa sebelum Pilkada serentak tersebut dilakukan terlebih dahulu membentuk Peradilan Khusus Pemilu untuk menangani sengketa hasil pemilihan sehingga dalam penanganannya dapat berjalan secara efektif dan efisien.  Meskipun demikian, terdapat pengecualian yang memberikan kewenangan kepada MK apabila Pengadilan pemilu tersebut belum dibentuk.
            Rumitnya mencari keadilan dalam pilkada serentak tahun ini, harus menjadi kesadaran kita secara bersama agar tetap menjadi pemilih yang cerdas dan mengawal serta mengawasi setiap proses rekapitulasi suara oleh penyelenggara pemilu.. Mencari pemimpin bukan hanya karena atas dasar kesamaan suku, agama, ras, atau kelompok tertentu saja, melainkan pemimpin yang mampu mengajak kita kedalam ruang kesejahteraan.  Syukur dofu-dofu!

No comments:

Post a Comment