Sunday 21 October 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL


Konsepsi Hukum Laut Internasional pertama kali muncul di Eropa tepatnya ketika Imperium Romawi menguasai seluruh tepian Laut Tengah. Peraturan- peraturan hukum laut yang dikemukakan oleh Rhodes pada abad II atau III sebelum masehi sangat berpengaruh di laut tengah karena prinsip- prinsipnya diterima dengan baik oleh orang Yunani dan Romawi. Kitab undang- undang Rhodes yang dikeluarkan pada abad V sebelum masehi oleh orang- orang Romawi sepenuhnya didasarkan atas peraturan hukum laut yang pernah dibuat Rhodes. Pada abad XIV di kawasan laut tengah terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato Del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan. Pada bagian dunia lain dikenal kitab undang- undang Asilka sekitar abad VII, kitab undang- undang Orelon di daerah Prancis barat dan kitab undang- undang dari Wisby di wilayah Eropa Utara.

Sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Romawi adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di dunia. Kerajaan ini terkenal memiliki angkatan perang dan barisan pertahanan yang sangat tangguh. Karena itu, penguasaan seluruh tepian laut tengah pada masa itu menjadi wajar. Setelah menguasai laut tengah selanjutnya Romawi mempersilahkan kepada bangsa lain untuk mempergunakan laut tengah secara damai. Karena dipergunakan oleh banyak bangsa di dunia, maka laut tengah pada saat itu menjadi jalur perdagangan yang ramai dan bebas dari bajak- bajak laut karena pengawasan dari angkatan perang Romawi cukup ketat.
Memasuki abad pertengahan, munculah klaim- klaim yang dilakukan oleh negara- negara yang sebelumnya merupakan bagiam dari kekuasaan Romawi. Negara- negara tersebut minuntut penguasaan atas laut yang berbatasan dengan pantainya. Diawali oleh Venetia yang menuntut sebagian besar Laut Adriatik untuk dijadikan daerah kekuasaannya. Tuntutan dari Venetia ini diakui oleh Paus Alexander III pada 1177. Setelah tuntutannya terpenuhi, Venetia memberlakukan pungutan bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana. Selanjutnya Genoa melakukan klaim atas kekuasaan Laut Ligunia dan Negara Pisa yang mengklaim dan memberlakukan aturan hukumnya di Laut Thyrrenia. Setelah tuntutan dari ketiga negara tersebut terpenuhi, selanjutnya masing- masing negara tersebut membuat aturan pemungutan bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana. Tiga negara diatas hanya sebagai contoh kecil negara- negara di tepian laut setelah runtuhnya Imperium Romawi.

Banyaknya klaim atas kekuasaan laut pada saat itu menimbulkan banyak pertentangan bahkan peperangan yang menyebabkan wilayah laut yang sebelumnya utuh dibawah kekuasaan Romawi terbagi menjadi beberapa bagian yang dimiliki oleh negara- negara tertentu. Fenomena ini menyebabkan laut tidak lagi merupakan Res Communis Omnium ( hak bersama seluruh umat ) namun telah terjadi laut tertutup yang dikuasai oleh suatu negara. Tindakan sepihak dari negara- negara pantai di Laut Tengah untuk menguasai laut ini menimbulkan kebutuhan untuk mencari kejelasan dan kepastian hukum. Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status negara pantai terhadap laut menyebabkan para ahli hukum Romawi yang biasa disebut Post Glossator atau komentator mulai bekerja keras mencari penyelesaian hukumnya yang didasarkan atas asas dan konsepsi hukum Romawi. Pada perkembangan selanjutnya muncullah teori pembagian wilayah laut yang dikemukakan oleh Bartolus dan Raldus.

Pada masa pembentukan Hukum Laut Internasional ini terjadi perjuangan untuk menguasai lautan berdasarkan berbagai alas an dan kepentingan seperti karantina ( perlindungan kesehatan terutama terhadap penyakit pes), bea cukai dan pertahanan. Pada waktu yang bersamaan terjadi adu argumentasi diantara para penulis atau ahli hukum yang masing- masing mempertahankan dan membenarkan tindakan- tindakan yamg dilakukan oleh negara atau pemerintahnya masing- masing.

Salah satu perbedaan pendapat yang paling terkenal adalah yang terjadi antara penganut doktrin bebas (Mare Liberium) yang dikemukakan oleh seorang ahli hukum Belanda yaitu Hugo De Groot dan penganut dokrtin laut tertutup (Mare Clausum) yang dikemukakan oleh John Shelden. Hugu De Groot dalam bukunya yang berjudul Mare Liberum mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki oleh bangsa manapu karena itu semua orang dapat dengan bebas mengakses dan memanfaatkan sumber daya laut. Sedangkan Shelden berpendapat bahwa laut dapat dimiliki. Shelden menunjuk pada praktek negara- negara yang menerapkan kedaulatan perairan mereka seperti Swedia, Rusia, Jerman, Genoa dan Venetina. Periode ini dalam sejarah hukum laut dikenal dengan jaman pertempuran buku- buku. Hal ini desebabkan para pemikir dan ahli hukum saling berlomba untuk mempublikasikan pendapatnya dengan menulis buku. Dalam waktu yang tidak lama muncul pendapat dari Pontanus, seorang sarjana Belanda yang bekerja pada Dinas Diplomatik Denmark yang mengemukakan teori pembagian wilayah laut yaitu laut yang berdekatan dengan panti dan dapat dimiliki dan diluar itu merupakan laut bebas yang tidak dapat dimiliki.

Polemik antara penganut mare liberum dan mare clausum kemudian diakhiri oleh Cornelis Von Bynkershoek dalam karyanya De Dominia Maris Disertasio. Bynkershoek mengadakan asimilasi wilayah daratan dengan laut yang bersambung dengan pantai. Gagasan terkenal Bynkershoek menyatakan bahwa kedaulatan negara berakhir sampai sejauh tembakan meriam yang ketika itu bias mencapai jarak 3 mil laut. Pendapat yng berkembang diantara ahli hukum klasik akhir abad XIX ialah salah satu antara Mare Clausum dan Mare Liberum. Hukum perikanan internasional klasik secar rasional yuridis lebih mendukung gagasan Grotius ( Mare Liberum).

Dengan terbentuknya Liga Bangsa- Bangsa setelah perang dunia I dan dalam tahun- tahun permulaan dari Perserikatan Bansa- Bangsa terjadi perkembangan hukum yang merupakam gabungan antara filsafat klasik dan Neo klasik atau Neo Grotius. Madzhab Neo- Grotius menunjuk pada gabungan antara gagasan klasik dari Hukum Perikanan dan kebutuhan Hukum Internasional untuk melaksanakan diplimasi dan birokasi dari organisasi internasional.. selanjutnya terjadi penambahan lembaga baru di tuguh PBB yaitu International Law Commision yang bertugs untuk mempersiapkan berbagai konsep pembaharuan dan kodifikasi Hukum International. Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 (UNCLOS I) adalah produk perkembangan Hkum Internasional Neo- Klasik. Pada tahun 1960 diselenggarakan konferensi Hukum Laut PBB II (UNCLOS II). Dalam UNCLOS I dan II belum ada kesepakatan penting tentang lebar laut teritorial maupun zona perikanan sehingga praktek dari negara- negara pantai pada saat itu masih menggunakan peraturan masing- masing. Ketidakpastian tentang legalitas hukum laut di tahun 1960 dipengaruhi oleh keadaan politik dunia pada waktu itu yang mengakibatkan beberapa Konferensi Jenewa yang mengatur laut tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan.
Pada tahun 1973 dimulailah Konferensi Hukum Laut III dan ditutup pada 10 Desember 1982 dan menghasilkan beberapa aturan yang sangat substansial dalam bidang Hukum Internasional terutama Hukum Laut diantaranya adalah tentang lebar maksimum laut teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).

Wednesday 19 September 2012

Praperadilan



Dalam menjalankan tugasnya aparat penegak hukum tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi terciptanya keadilan dan ketertiban masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan. Untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka KUHAP mengatur suatu lembaga yang dinamakan praperadilan.
Pengertian
Menurut Pasal 1 angka 10 KUHAP, praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/ penyidik/ penuntut umum demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Praperadilan berdasarkan penjelasan di atas, hanyalah menguji dan menilai tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut ketepatan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan serta ganti kerugian dan rehabilitasi.
Praperadilan merupakan bagian dari pengadilan negeri yang melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal dilakukan upaya paksa terhadap tersangka oleh penyidik atau penuntut umum, yang maksudnya dari pengawasan ini adalah pengawasan bagaimana seorang aparat penegak hukum melaksanakan wewenang yang ada padanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga aparat penegak hukum tidak sewenag-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu, bagi tersangka, atau keluarganya sebagai akibat dari tindakan menyimpang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, ia berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi.
Ruang Lingkup
Dengan lahirnya KUHAP, pengadilan negeri tidak hanya menjalankan tugasnya untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, tetapi juga mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus permintaan pemeriksaan praperadilan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 77 jo. Pasal 78 ayat (1) KUHAP.
Ruang lingkup kompetensi lembaga praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP ialah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP.
Dari penjelasan diatas, ada beberapa permasalahan yang timbul di dalam praktek yang kemudian justru menjadi kelemahan dari praperadilan seperti:
1) Tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan, seperti penggeledahan, penyitaan, dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi pelanggaran
2) Praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan tanpa adanya permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sehingga apabila permintaan tersebut tidak ada, sementara tindakan penangkapan atau penahanan telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku, maka sidang praperadilan tidak dapat diadakan
3) Hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi atau tidaknya syarat-syarat formil dari suatu penangkapan atau penahanan dibandingkan dengan syarat-syarat materiilnya.
Sarana Untuk Memeriksa dan Memutus Sah atau Tidaknya Penghentian Penuntutan
Apabila penyidikan telah selesai dilakukan, maka penyidik kemudian melimpahkan perkara tersebut kepada penuntut umum. Pelimpahan perkara berarti penyerahan tanggung jawab atas penanganan perkara tersebut dari penyidik ke penuntut umum. Pelimpahan itu dilakukan dengan menyerahkan tersangka bersama berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum.
Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang bnerwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP penuntut umu diberikan kewenangan juga untuk menghentikan penuntutan, dalam arti hasil pemeriksaan penyidikan terhadap tindak pidana yang disampaikan penyidik tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Penghentian penuntutan ini, tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang jaksa agung.
Penghentian penuntutan dapat dilakukan oleh penuntut umum berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Tidak terdapatnya cukup bukti pada perkara yang bersangkutan;
2) Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
3) Perkara ditutup demi hukum, seperti: nebis in idem, terdakwa meninggal dunia atau daluarsa.
Penghentian penuntutan terhadap tersangka, dengan alasan sebagaimana yang disebutkan di atas menurut Penjelasan Pasal 80 KUHAP dimaksudkan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui suatu pengawasan horisontal. Sama halnya dengan pemeriksaan keabsahan penghentian penyidikan, maka apabila putusan praperadilan menetapkan bahwa tindakan penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum tidak sah, masih dapat dilakukan upaya hukum berupa meminta putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Penghentian penuntutan dalam putusan praperadilan tidak menghalangi penuntutan terhadap tersangka dikemudian hari apabila ditemukan bukti-bukti baru tentang keterlibatannya dalam tindak pidana yang disangkakan itu

Monday 18 June 2012

Hukum Internasional - Pengakuan Negara


Ò  Pengertian pengakuan
PENGAKUAN  adalah perbuatan bebas oleh suatu negara atau lebih negara untuk mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu yang dihuni suatu masyarakat manusia yang secara politis terorganisir, tidak terikat oleh negara yang telah lebih dulu ada serta mampu menjalankan kewajiban-kewajiban menurut huku internasional dan dengan ini negara yang memberi pengakuan menyatakan kehendak untuk memandang wilayah itu sebagai salah satu anggota masyarakat internasional.
Boer Mauna  :
     pengakuan adalah suatu pernyataan dari suatu negara yang mengakui negara lain sebagai subjek hukum internasional.

Ò  Teori tentang pengakuan
Teori Konstitutif, adalah negara secara hukum baru ada jika telah mendapat pengakuan dari negara-negara lain. Selama pengakuan belum diberikan maka secara hukum negara belum lahir.
Teori Deklaratif, adalah teori yang menyatakan bahwa begitu lahir suatu negara langsung menjadi anggota masyarakat internasional, pengakuan hanya merupakan pengukuhan dari pengakuan tersebut.
TEORI MANAKAH YANG BENAR? Menurut kebiasaan yang ada, yang lebih kuat adalah teori deklaratif.
TERDAPAT DUA ALASAN :
1)      Kebiasaan  jika seandainya timbul pertanyaan mengenai kapan tanggal berdirinya suatu negara, sama sekali tidak relevan menimbang kapan suatu negara pertama kali mengakui negara tersebut . Misal : Indonesia, diakui lahir 17 Agustus 1945 meskipun pada tanggal tersebut belum ada pengakuan.
2)      Pengakuan mempunyai efek retroaktif yaitu kembali kemasa pertama kalinya berdiri sebuah negara yang merdeka.

Ò  Macam-macam pengakuan
·         Pengakuan menurut bentuknya
PENGAKUAN DE JURE, adalah pengakuan yang diberikan oleh pemerintah suatu negara kepada negara lain karena menurut negara yang mengakui, negara yang diakui secara formal telah memenuhi syarat dalam hukum internasional untuk ikut serta dalam komunitas internasional. Pengakuan de jure biasanya diawali dengan pengakuan de facto dan sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali.

PENGAKUAN DE FACTO, adalah pengakuan yang diberikan oleh suatu negar akepada negara lain karena menurut pendapat negara yang mengakui, negara yang diakui untuk sementara waktu dan atas dasar fakta  sudah memenuhi syarat sebagai negara.
Pengakuan kolektif
PENGAKUAN KUASI, adalah pengakuan suatu negara terhadap negara lain yang terwujud di dalam praktik hubungan, namun di dalam pernyataan mengingkari akan adanya pengakuan. Misal : Sampai tahun 1979 AS belum menggakui  rejim  Beijing  karena sengketa dengan Formusa, tetapi diantaranya telah terjalin hubungan diplomatik. Pengakuan bersyarat.
Pengakuan prematur

·         Pengakuan menurut objeknya
            PENGAKUAN NEGARA, adalah pernyataan dari suatu negara yang mengakui negara lain sebagai subjek hukum internasional, dengan segala hak dan  kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional.
Kriteria pengakuan negara :
1.      Keyakinan adanya stabilitas di negara baru tersebut
2.      Dukungan umum dari penduduk
3.      Kesanggupan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban internasional.
PENGAKUAN PEMERINTAH, adalah pernyataan dari suatu negara yang mengakui bahwa negara tersebut telah siap dan bersedia berhubungan dengan pemerintah yang baru diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negaranya.
Dasar pengakuan pemerintah :
1.      Tes Objektif,
a.      Secara de facto telah menguasai mekanisme administratif negara
b.      Tidak ada lagi perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah yang baru
c.       Memperoleh dukungan secara substansial pendapat umum di negara yang mengakui
d.      Tidak ada penolakan politik di negara yang memberi pengakuan untuk memberikan pengakuannya.
2.      TES SUBJEKTIF, apabila telah mampu dan mau melaksanakan kewajiban internasional yang ada dan bertingkah laku sesuai dengan prinsip hukum internasional.
PENGAKUAN PEMERINTAH DI PENGASINGAN, adalah pengakuan yang diberikan  oleh suatu negara kepada negara yang berada di pengasingan yaitu negara yang tidak lagi melakukan penguasaan efektif atas negaranya sendiri.
Pemberian pengakuan atas dasar pembenaran hukum dan pembenaran politik.
Negara yang mengakui berharap dapat menunjukkan bahwa penguasa yang menduduki daerah pengasingan adalah tidak sah dan tidak berdasar legitimasi de yure.

Pengakuan menurut cara pemberiannya
Pengakuan Tegas, adalah pengakuan yang diberikan oleh suatu negara kepada negara lain yang diberikan dengan pernyataan resmi, misal : dengan nota diplomatik, pesan pribadi kepala negara, deklarasi parlemen dan perjanjian internasional.
Pengakuan diam-diam, adalah pengakuan yang diberikan dengan penarikan kesimpulan dari hubungan tertentu antara negara yang mengakui dengan negara yang diakui.