Opini ini telah dimuat dalam media cetak Malut
Post, Ed. 11 Des 2015
Ratapan Demos
dan Kratos
Oleh :
Jalrahman Djawas
Sekum PUSMAT Kota Ternate
Kekuasaan dan Rakyat adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah Negara demokrasi. Dimana, dalam Negara
demokrasi tersebut segala sesuatu yang berkaitan dengan Kekuasaan harus
membutuhkan legitimasi dari Rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Intinya adalah, rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, rakyatlah yang
berdaulat, dan rakyatlah berhak menentukan siapa yang menjadi raja di atas
tahta.
Legitimasi Rakyat menuju Kekuasaan dalam system Pemerintahan Indonesia telah
dibingkai dalam kemasan khusus yang disebut PEMILU atau PILKADA yang merupakan
sebuah wujud nyata dari makna demokrasi yang utarakan oleh Abraham Lincoln
bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Itu artinya bahwa, Indonesia adalah Negara demokrasi dan bukan
otokrasi.
Pemilihan umum di Indonesia sudah dimulai sejak tahun
1955 dan terus berkembang hingga kini, mulai dari amandemen Undang-Undang Dasar
dan merevisi berbagai macam peraturan perundang-undangan demi capaian PEMILU
dan PILKADA yang lebih baik yang sesuai dengan nilai-nilai dan asas-asas
demokrasi.
Pemilihan Kepala Daerah secara serentak merupakan sebuah
PR (pekerjaan rumah) besar buat bangsa Indonesia dalam mewujkan keadilan dengan meyakinkan bahwa rakyat akan memilih
sesuai kehendaknya tanpa intervensi Rupiah, dan menjamin bahwa
kecurangan-kecurangan yang terjadi dapat diadili dengan pertimbangan bahwa hak
rakyat adalah pemimpin dengan perolehan suara terbanyak darinya dan bukan atas
penggelembungan suara atau menghilangkan suara menggunakan Tipex.
1.
Kekuasaan Untuk Siapa?
Kekuasaan yang berasal dari rakyat, maka orientasi
pemimpinnya akan diperuntukan untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat secara
universal, dan bukan kepentingan invidu, kelompok, suku, agama atau ras
tertentu saja.
Begitupun sebaliknya, apabila kekuasaan itu diperoleh
dengan Rupiah atau dari kecurangan penyelenggara, atau dari Pimpinan SKPD dan
PNS yang tidak netral (Politik Birokrasi) maka orientasi pemimpinnya juga pasti
Rupiah, dan yang terjadi adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam bahasa
sederhanya Iwan Fals adalah “Gali Lubang, tutup Lubang”.
Kita harus sama-sama menyikapi dan mengantisipasi agar
hal ini tidak terjadi dalam pilkada serentak tahun ini, sebab Pilkda dalam
konteks kukasaan itu syarat akan kepentingan, kesombongan, dan penuh tipu-daya. Sebagaimana yang dikatakan
Weber bahwa Kekuasaan adalah keegoisan. Olehnya itu, segala kemungkinan baik
kecurangan maupun politik uang sangat mungkin terjadi.
Ada beberapa hal yang membuat penulis menyatakan
demikian. Pertama, Pilkada serentak
yang diadakan tahun ini menggunakan system yang berbeda, dimana setiap kandidat
yang memiliki perolehan suara terbanyak akan ditetapkan oleh KPU sebagai Kepala
Daerah Terpilih dan akan dilantik apabila dalam waktu 3x24 jam tidak ada
Pemohon yang menggugat hasil pemilihannya ke Mahkamah konstitusi. Kedua, Terdapat kurang lebih 269 daerah
yang melaksanakan pilkada serentak 9 desember tahun ini. Dimana setiap Pilkada
sangat mungkin terjadi sengketa hasil pemilihan. Ketika terjadi sengketa hasil
pemilihan maka Mahkamah Konstitusi akan mengadili sengketa tersebut. Yang
menjadi pertanyaan adalah, apakah Mahkamah Konstitusi mampu menangani perkara
dengan jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat ? tentu saja tidak, dalam
waktu 45 hari dengan jumlah perkara yang banyak akan berimplikasi pada
terabaikannya sebagian perkara dengan putusan menolak atau tidak dapat
diterima.
Inilah menjadi dalil bahwa, setiap calon kepala daerah
akan mendulang suara rakyat dengan menghalalkan segala cara. Praktek Politiknya
pun akan dilakukan ala Machiavelian
yang mengenyampingkan persoalan, moral dan etika, dan yang terpentingkan adalah
bagaimana cara meraih sebuah kekuasaan.
2.
Siapakah yang berhak
berkata “Adil”?
Dari alasan yang Kedua
di atas, untuk mengantisipasi banjirnya gugatan ke Mahkamah Konstitusi, MK
telah mengeluarkan Peraturan No. 1 tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam
Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dimana
para pemohon hanya dapat mengajukan gugatan dengan perselisihan suara
maksimalnya mulai dari 0,5 % - 2%.
Pembagian prosentase perselisihan suara tersebut berdasarkan jumlah penduduk
tiap-tiap daerah. Apabila jumalah perselisihan suara melebihi dari prosentase yang telah ditentukan maka
Mahkamah Konstitusi akan menolak gugatan tersebut.
Itu artinya bahwa, apabila ada Calon Kepala Daerah serta
koleganya yang melakukan kecurangan dengan melakukan penggelembungan suara
dalam jumlah yang banyak yang melebihi prosentase yang ditetapkan dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut maka, tidak ada lagi lembaga di Negeri
ini yang dapat mengadilinya. Belum lagi soal politik uang yang pembuktiannya
sangat sulit dilakukan yang berkonsekuen pada jumlah suara. Tentunya tidak ada jalan lain menuju keadilan
bila kecurangan-kecurangan itu terjadi dalam jumlah yang banyak, yang telah melanggar
hak-hak konstituen yang diatur dalam UUD. Seharusnya, Mahkamah Konstitusi
sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Hak-hak konstitusional setiap warga
negara tidak boleh terabaikan dan tidak boleh direnggut oleh siapapun. Dan
tugas Mahkamah Konstitusi adalah menjaga hak-hak tersebut. Dalam pasal 1 ayat
(2) konstitusi menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat…”, ini
bermakna bahwa setiap kebijakan dan kekuasaan harus di legitimate oleh rakyat. Oleh karenya, legitimasi rakyat yang telah
diabaikan, harus dapat diadili.
Sebenarnya Negara
kita belum siap melaksanakan Pilkada secara serentak. Alasan yang pertama
adalah : bahwa UU No. 8 tahun 2015 tentang perubahan atas UU No. 1/2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang adalah hasil dari pemikiran beberapa orang
yang dibuat secara tergesa-gesa dan tidak memuat secara komprehensif
norma-norma yang disertakan dengan sangsi. Misalnya dalam 73 menyatakan tentang larangan money politic akan tetapi tidak disertakan dengan sangsinya
sehingga dalam penanganan Money Politic harus dikembalikan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana tentang penyuapan, baik itu penyuapan aktif maupun
pasif. Kedua, Bahwa dalam pasal 157 UU tersebut menyiratkan bahwa sebelum Pilkada serentak
tersebut dilakukan terlebih dahulu membentuk Peradilan Khusus Pemilu untuk
menangani sengketa hasil pemilihan sehingga dalam penanganannya dapat berjalan
secara efektif dan efisien. Meskipun
demikian, terdapat pengecualian yang memberikan kewenangan kepada MK apabila
Pengadilan pemilu tersebut belum dibentuk.
Rumitnya mencari keadilan dalam pilkada serentak tahun
ini, harus menjadi kesadaran kita secara bersama agar tetap menjadi pemilih
yang cerdas dan mengawal serta mengawasi setiap proses rekapitulasi suara oleh
penyelenggara pemilu.. Mencari pemimpin bukan hanya karena atas dasar kesamaan
suku, agama, ras, atau kelompok tertentu saja, melainkan pemimpin yang mampu
mengajak kita kedalam ruang kesejahteraan.
Syukur dofu-dofu!